Ibu Indonesia


eramuslim - Bukan sesuatu yang ringan ketika seorang ibu melepaskan anaknya menuntut ilmu sambil mondok di sebuah pesantren. Si anak tertua yang cerdas dan masih duduk dibangku sekolah dasar. Tidak pula sesuatu yang menentramkan hati bila seorang ibu tak bisa lagi memandangi wajah anaknya diwaktu malam, ketika tengah pulas tertidur. Hanya demi kepentingan masa depan buah hatinya, ia berupaya meredam rintih sedih itu semua. Dan meyakinkan diri sekuat-kuatnya, bahwa anaknya akan beroleh ilmu dan pengajaran dari guru yang lebih baik. Ilmu yang lebih dari yang dapat ia berikan selama sang anak masih bersamanya.
Memang ia tak menunjukkan raut muka sedih ketika memandangi kamar baru anaknya yang sederhana. Memperhatikan meja belajar, lemari pakaian, serta tempat tidur susun, tempat anaknya akan tinggal bersama beberapa anak lainnya. Dia malah tersenyum saja dan berkisah tentang hal-hal yang menggembirakan kepada anaknya sambil duduk beriringan disisi tempat tidur. Memeluk dan meninggalkan buah hatinya di seberang pintu gerbang, kemudian menunggu kendaraan umum yang akan mengantarnya kembali.
Namun seorang ibu tetap lah seorang wanita. Bagaimanapun ia tegar dihadapan anaknya, tak kuasa ia menyembunyikan perasaan di depan Rabb-nya. Betapa ia kesulitan ketika membaca Al-Qur’an selepas maghrib seperti biasanya. Tenggorokannya seakan-akan terasa sesak, nafasnya pendek-pendek. Hingga seringkali ia bisa membaca ayat demi ayat dalam kitab suci itu hanya dalam hati saja. Isak tangis juga sering terdengar di keheningan malam dalam kepasrahan tahajjudnya. Saya masih ingat beberapa kata dalam do'anya yang nyaris tak bersuara.
"Ya Allah, hambamu ini hanya lah seorang ibu yang biasa, tak ada sesuatu yang istimewa kecuali amanah yang Engkau berikan. Wahai Dzat yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, hanya kepada-Mu hamba titipkan nasib dan masa depan anak-anak hamba. Ya Allah lindungilah mereka, karuniakanlah anak-anak hamba keberkahan, tinggikanlah derajatnya, terangkanlah pikirannya, jernihkanlah hatinya, selamatkanlah mereka di dunia dan akhirat." Lalu ia menyebut nama suami dan anaknya satu persatu. Dan selepas shubuh berjalanlah ia ke pasar sebagaimana biasanya, menggelar dagangannya seperti para pedagang lainnya.
Tentu akan banyak ibu-ibu pejuang seperti itu di tanah air kita. Berjuta jumlahnya dan terserak dimana-mana. Berpuluh tahun mereka melakoni episode kehidupan yang amat berat untuk sebagian orang, mungkin juga kita diantaranya. Bagi mereka, kesusahan itu sudah tak dirasakan kesusahan lagi saking biasanya. Kepedihan dan keperihan menjadi sesuatu yang normal karena seringnya.
Kini, beban kesulitan itu akan lebih menekan lagi. Payahnya mencari nafkah, berbagai jenis persoalan hidup yang lebih berat sudah berderet antri di depan mata. Harga-harga barang sudah merambah naik, sementara tak ada jaminan bahwa penghasilannya mereka juga akan bertambah. Tak ada gaji ataupun tunjangan untuk besok hari dan hari-hari berikutnya. Yang ada hanyalah terus-menerus kerja lembur dan "mematikan" berbagai keinginan atau kesenangan memiliki barang.
Di depan manusia mereka menjadi golongan kecil dan lemah saja. Menjadi bagian masyarakat yang tidak penting untuk dicatat dalam sejarah bangsa yang besar seperti Indonesia. Sebuah negeri yang banyak meyimpan cerita kemewahan para pejabat dan pengusahanya. Cerita kejayaan pemimpin dengan kekuasaannya. Kenangan akan kefleksibelan hukum dan peraturan yang dibuat oleh ahli-ahli hukumnya. Tapi yakinlah bahwa itu semua tak paralel dengan senyum dan kebahagiaan sebagian besar rakyatnya. Tidak mesti senada dengan ibu-ibu pedagang kecil yang semenjak shubuh sudah tertatih menggendong barang dagangan. Demikian jauh perbedaan kehidupan antara rakyat dan pejabat yang mengurusinya. Begitu lebar ketimpangan sosial orang kaya dengan rakyat biasa.
Betapa ibu-ibu kita begitu bersih hatinya. Tak ada dendam, tak ada makian atau kata-kata kotor lainnya. Allah Maha Tahu betapa mereka amat sulit hidupnya. Kesulitan yang seringkali diabaikan saja oleh golongan lainnya, bahkan oleh orang-orang yang diberi amanah untuk memimpin mereka. Orang-orang yang semestinya membantu perbaikan nasib dan mensejahterakannya.
Betapa bangsa kita amat berhutang pada ibu-ibu mulia itu. Mungkin karena do'a dan air mata pengharapannya, karena perih dan letih yang disimpan saja, Allah masih bersabar terhadap kelakuan manusia lainnya di muka bumi ini. Banyak orang kadang merasa besar dan penting, lebih berpendidikan serta berwawasan luas. Kekuasaan dan ketinggian jabatan yang dicapai sering menjadi bandrol harga penghargaan yang harus diberikan orang. Merasa sudah berbuat banyak dan mempunyai jasa yang tak terhingga. Hidup sudah sedemikian melambung dan tak ingin kehilangan itu semua. Kemiskinan jadi hal yang harus disembunyikan, kekurangan lantas menjadi pantangan dan harus dipenuhi dengan jalan apa saja. Hilang sudah getaran iba dan rasa sayang pada orang papa dan penuh kesusahan dalam hidupnya.
Tak pernah berusaha menemani kesedihan "wong cilik" walau sebentar saja. Menatap seorang ibu pada suatu siang yang terik, sepulang dari pasar yang jauh dari prasyarat kesehatan, berjalan ibu kita ini kembali dengan dagangan yang hampir utuh. Pulang dengan menangis yang tak keluar. Dan lebih perih lagi ketika hari itu pula si sulung datang mengharap uang untuk membayar pondok dan sekolahnya. Sungguh suatu situasi yang menggetarkan, menatap mata duka sang ibu mulia ini.
Kalau saja pada saat itu Sayidina Umar bin Khaththab dihadirkan kembali. Tentulah akan pucat wajah khalifah yang diridhai Allah ini, dan gemetar tubuhnya. Segemetar kala beliau mendapati diantara rakyatnya yang kelaparan di suatu malam.
Kalau saja pada momen menggetarkan tersebut, hadir pula orang yang diberikan amanah berupa tanggung jawab untuk memperjuangkan nasib ibu kita...
din-din (mukhyidin@yahoo.de)
Category: 0 komentar

Menikmati Hidup


eramuslim - Kawan, ingin kuceritakan padamu indahnya menggenjot pedal sepeda membelah persawahan, menempuh jarak 5 sampai 10 kilometer. Angin segar menerpa, cicit burung dan lenguhan kerbau mengiringi setiap putaran roda. Kehijauan sawah sepanjang mata memandang, berbatas cakrawala langit yang biru dengan saputan awan putih di ketinggian. Sebenarnya semua itu biasa saja, karena aku anak desa. Tapi sungguh, keindahan itu menjadi terasa lebih indah karena lima tahun terakhir aku nyaris tak lagi menyentuh sepeda onthel. Ya, lima tahun terakhir aku lebih banyak naik motor atau menggunakan kendaraan umum. Bahkan ke warung tetangga berjarak dua ratus meter pun selama ini aku tak mau lagi naik sepeda.
Indah karena sambil menggenjot pedal aku mengenang masa-masa sebelum lima tahun yang lalu. Saat tiap hari aku menempuh puluhan kilometer di atas sepeda jengki atau sepeda mini, bersaing dengan bis kota di atas sadel sepeda. Bermandi peluh saat matahari siang bolong panas membakar, atau bernafas embun saat kabut pagi masih melingkupi. Kini, lima tahun kemudian, aku naik sepeda hanya sebagai selingan, sekedar sarana untuk berolahraga dan berekreasi.
Maka nikmat Allah manakah yang (dapat) aku dustakan?
Kawan, ingin kuceritakan padamu nikmatnya mengurus ternak. Mencari dan memberi makan ayam, bebek dan kambing. Juga membersihkan kandang mereka dari ranting-ranting sisa makanan, juga dari kotorannya. Bau khas ayam, serudukan kambing dan kotorannya terasa nyaman. Beberapa jam berkutat dengan mereka memang melelahkan, tapi sungguh terasa nikmat dan menyenangkan. Bagaimana tidak nikmat dan menyenangkan, sedang aku mengerjakan semua itu hanya sekali dua, saat menjalani liburan. Dulu, lima tahun yang lalu, aku harus melakukan pekerjaan itu tiap hari. Dan kini, rasanya indah sekali, mengenang betapa beratnya pekerjaan itu dulu.
Maka nikmat Allah manakah yang (dapat) aku dustakan?
Kawan, ingin kubagi padamu tentang asyiknya menimba air dari sumur dengan tali. Meskipun lengan sempat kram dan pegal selama beberapa hari, derit roda katrolnya menimbulkan sensasi yang menggembirakan. Tempelasan air yang menerpa teramat menyenangkan. Segar. Dan keasyikan itu berubah menjadi perasaan yang indah, mengenang lima tahun yang lalu aku harus bercapai-capai menimba berpuluh-puluh ember untuk seluruh kegiatan rumah tangga, juga usaha batu bata ibu. Sedang kini, aku hanya perlu menimba saat listrik mati.
Maka nikmat Allah manakah yang (dapat) aku dustakan?
Kawan, aku ingin engkau tahu, menyenangkan sekali memasak dengan kayu bakar. Kuhembus bara-bara dengan sepenuh tenaga, agar makanan di tungku menjadi masak. Meskipun itu berarti abu berhamburan mengotori baju, keringat berleleran karena udara panas di sekitar tungku, dan panci-panci menjadi menghitam serta butuh usaha ekstra untuk mencucinya. Kata orang, memasak dengan api tungku lebih enak. Tapi bukan itu yang paling nikmat dari memasak dengan tungku dan kayu bakar, tapi karena aku sudah lebih dari lima tahun tak melakukannya. Ya, selama ini untuk memasak aku tinggal menyalakan kompor minyak atau kompor gas, menanak nasi dengan rice cooker, memasak air dengan ketel listrik. Dan kini, aku menikmati memasak dengan kayu bakar seperti sedang berpiknik. Lima tahun lalu, tiap hari aku bergulat dengan kayu bakar, abu dan tungku.
Maka nikmat Allah manakah yang (dapat) aku dustakan?
Kawan, hari ini di sini, nikmat sekali aku mengunyah potongan apel, pir dan jeruk mandarin. Buah-buahan itu beberapa tahun terakhir rasanya tak terlalu istimewa bagiku, bahkan sudah menjadi sarapan sehari-hari. Namun kini, rasanya lain sekali. Saat mengulumnya ingatan tentang masa lima tahun yang lalu melintas-lintas. Ya, lima tahun lalu, aku menahan air liur untuk sekedar dapat mencicipi melon, mangga, semangka apatah lagi buah pir, apel merah dan anggur. Tak ada uang untuk sekedar membeli sepotong, sedang jajan di sekolah pun hanya seminggu sekali, ketika ada pelajaran olah raga.
***
Kawan, hari ini, aku ingat sekali, sudah lebih dari lima tahun aku menjadi pegawai negeri. Banyak orang mengatakan, menjadi pegawai negeri itu enak. Kerjanya santai, gaji tetap.
Tapi selama ini aku merasa tidak nyaman. Pertama karena aku tidak suka bersantai-santai. Kedua, karena peningkatan prestasi dan karir berjalan sangat lambat. Ya, aku merasa kurang beruntung dibanding teman-teman yang bisa sekolah lagi, kemudian bekerja di tempat swasta dengan gaji besar. Aku merasa kurang beruntung dibanding teman-teman yang sudah menjadi para profesional, dengan gelar akademis tinggi. Aku merasa kurang dibanding teman-teman yang sudah mencapai keberhasilan jauuh di atasku: dalam hal keluarga, karir, pendidikan maupun aktifitas sosial.
Tapi hari ini aku tahu, bahwa aku pun telah mendapat pencapaian besar. Dulu aku naik sepeda ontel, kini dapat naik motor dan naik bus kemana-mana. Dulu aku harus mengurus ternak untuk biaya sekolah, kini aku memelihara binatang untuk teman. Dulu aku harus berhemat air agar hemat tenaga untuk menimba, kini aku bisa mandi sepuasnya tanpa usaha. Dulu aku harus puas dengan ubi, pisang dan pepaya dari kebun, kini aku bisa sarapan tiap pagi dengan apel dan jeruk.
Maka nikmat Allah yang manakah yang (dapat) aku dustakan?
Mensyukuri nikmat. Phrase ini terdengar teramat klise. Karena ia adalah salah satu ajaran agama Islam dan agama lain yang hampir semua orang ernah mendengarnya. Namun kekliseannya tidak membuat kalimat tersebut gampang diaplikasikan. Ada saat-saat dimana kata-kata tersebut begitu abstrak, sulit dimengerti dan berat dilaksanakan. Atau malahan mudah diucapkan, tapi perbuatan tak sesuai dengan yang dikatakan. Padahal ternyata, phrase itu ternyata bisa teramat sederhana.
Mengenang kembali lima tahun yang lalu itu, ternyata semua biasa saja. Dulu aku sanggup hidup sedemikian, maka mengapakah sekarang aku lebih tak bahagia? Mengapa aku harus membandingan diri dengan orang lain dan selalu merasa kurang?
Dulu aku sanggup menikmati apa yang ada, apa yang diberikan Allah padaku. Dulu, dengan status anak kos sejak kelas 1 SMA, aku sanggup hidup dengan uang 3-5 ribu rupiah seminggu untuk makan, ongkos jalan dan fotocopy. Oke saja bagiku berjalan kaki maupun ngontel berkilo-kilo. Mie sebungkus untuk dua kali makan pun tak masalah. Dan semua itu dahulu biasa saja. Karena saat itu aku malah belum mengenal dunia, dan apa yang kuperoleh sudah terasa cukup.
Menikmati hidup. Tampaknya itu saja kuncinya. (Azi_75@yahoo.com, hari-hari seputar lebaran)
Category: 0 komentar

fadil dan mama


setelah beberapa bulan ih berada di Pondok gede Bekasi, kemudian kami semua pindah domisi ke Samarinda.
bersamaan dengan abh ih yang dipindahkan bekerja di Kalimantan.

ih masih bayi, tidak tahu apa-apa dengan perjalanan dari Pondok gede-bekasi kemudian ke Cengkareng, kemudian naik pesawat ke Balikpapan (Sepinggan Airport) setelah itu masih harus menempuh perjalanan lewat darat lagi selama 2 jam menuju Kota Samarinda.

Abah/mama aslinya dari Kalimantan, yang satu dari kalimantan Selatan dan mama dari kalimantan Timur. Jadi ih adalah asli kalimantan kelahiran Bekasi (Jawa Barat).

Aslinya ya INDONESIA. . .

sekian dulunya ih buat tulisan ini dari bimbingan abah ih. yang rajin menulis di blog ini.