Fadil ketika tanggal 30 May 2003





Jagalah Makananmu Maka Allah Akan Menjagamu


eramuslim.MasyaAllah, Sebanyak ini….?
Kuamati kembali daftar dzat halal dan haram yang tertera di dalam majalah tersebut. Aku benar-benar shock karena makanan yang selama ini masuk dalam tubuhku mengandung dzat haram. Ingin rasanya aku keluarkan kembali semua isi perutku tapi hal itu tidaklah mungkin. Penyesalan tidak ada gunanya justru saat inilah seharusnya aku banyak bersyukur kepadaNya. Dia Yang Maha Tahu telah mengingatkan aku betapa pentingnya menjaga setiap tetes dzat yang masuk ke dalam tubuh. Dia Yang Maha Tahu pula yang telah mengajariku bahwa dengan menjaga makanan kita, maka kita telah menjaga keimanan.
Saat ini, di negeri orang yang mayoritas penduduknya non muslim, aku merasakan betapa pentingnya arti makanan. Disaat yang lain makan dengan lahap, sementara kita harus teliti membaca kandungan dzat makanan kita. Disaat yang lain bebas memilih makanan kesukaan kita, sementara kita harus menahan rasa lapar yang mendera. Dan semua tidak semudah seperti yang aku bayangkan sebelumnya karena dzat-dzat itu tidak hanya menyeretku ke jurang kemalasan dan ke lembah kehinaan tetapi menutup semua jalan yang ingin aku lewati. “Ya” Aku jadi malas beibadah kepadaNya, dan Allah tidak memperkenankan aku bermunajat kepadaNya di malam hari karena tanpa aku sadari telah begitu banyaknya dzat haram yang masuk kedalam tubuh ini. Belum lagi urusan-urusan tiba-tiba jadi sulit untuk aku tembus.
“Kenapa dzat? Kenapa tidak langsung khamr, daging babi dan yang lainnya?“
Karena yang besar dan terlihat secara fisik biasanya lebih mudah untuk dihindari. Justru yang kecil dan tidak terlihat yang sulit sekali dihindari dan kita mudah terjebak. Pada awalnya, aku hanya mengetahui dzat 472e saja yang haram. Setiap kali membeli sesuatu, aku selalu mengeceknya dan semua berjalan lancar. Ibadah harian yang biasa aku kerjakanpun tidak ada masalah berarti. Sampai akhirnya aku menyadari “ada sesuatu yang tidak beres.” Aku sangat sulit… sekali bangun malam walaupun aku sudah mencoba berbagai macam strategi. Dan akhirnya aku menemukan daftar itu di sebuah majalah Islam. Aku bersihkan semua makanan yang mengandung dzat-dzat tersebut dan mulai saat itu aku memilih tidak makan kalau kandungan dzatnya tidak jelas atau meragukan. Subhanallah kini aku bisa bangun malam kembali, bermunajat kepadaNya, dan melaksanakan ibadah yang lain dengan lebih khusyuk. Allahpun membuka begitu banyak jalan kemudahan untukku dan segala urusan menjadi lancar. Alhamdulillah segala Puji Hanya Untuk Allah Yang Mencintai kebaikan dan hanya menerima sesuatu yang baik.
Ada kebiasaan hidup yang hampir sama antara Rasulullah, para sahabat, dan orang–orang sholeh, mereka selalu menjaga makanan mereka. Menggalakan puasa demi penyucian diri dan kedekatan dengan RobbNya.
Masih segar dalam ingatan kita kisah seorang pemuda yang menemukan apel di sungai, kemudian ia memakannya. Ditengah menikmati apel itu, ia tersadar bahwa apa yang ia makan bukanlah miliknya. Setelah mencari dan mencari, akhirnya ia dapat menemukan sang pemilik buah apel itu. Akhir cerita, sang pemilik pohon apel, menikahkan pemuda itu dengan salah seorang anaknya. Bukti keimanan terpancar dalam diri pemuda tersebut. Ia sangat menyadari bahwa setiap tetes makanan yang masuk kedalam tubuh pasti akan mempengaruhi kecintaannya pada Allah. Karena setiap output pasti tergantung dengan input maka makanlah makanan yang halal, cek dzat-dzat yang terkandung didalamnya, jangan remehkan yang kecil, karena kita bisa selamat dengannya atau bahkan terpuruk dilembah kehinaan karenanya. Jagalah makananmu, maka Allah akan menjagamu. Wallahu'a’lam bishshowab (nnf@eramuslim.com)
Category: 0 komentar

Fadil ketika tanggal 23 May 2003


Ketika Kita Berdo'a


eramuslim - Allah Swt berfirman: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasannya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. (QS. Al Baqarah: 186)
“Dan Rabbmu berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina”. (QS. Al Mu’min: 60).
Allah Swt telah berjanji, untuk mengabulkan segala permohonan hamba-Nya apabila ia berdo’a kepada-Nya. Namun sering terjadi, do’a seseorang seakan tidak dikabulkan, atau ketika dikabulkan tidak pada saat sesuai dengan yang diminta. Sehingga sering timbul sebuah pertanyaan “akan dikabulkankah do’a saya? Kapankah do’a saya akan terkabul? Mengapa do’a saya tidak dikabulkan? Dan sebagainya.
Terkadang manusia tidak memiliki kesabaran dan berharap do’anya dikabulkan saat itu pula, tak sabar menunggu dan kadang timbul prasangka buruk kepada Allah, baik dilakukan secara sadar maupun tidak. Syekh Ibnu Athoillah dalam kitab Al Hikam menjelaskan bahwa, ada tiga kemungkinan yang akan terjadi dari do’anya seorang hamba. Kemungkinan pertama adalah do’anya dikabulkan saat itu juga, seperti do’anya tiga orang pemuda yang terjebak dalam gua yang pintunya tertutup oleh sebongkah batu. Maka batu yang menutup pintu gua itupun bergeser sedikit demi sedikit hingga terbuka secara sempurna ketika satu persatu dari pemuda yang terjebak itu memohon kepada Allah sambil mengutarakan perbuatan baiknya.
Kemungkinan kedua adalah do’a itu dikabulkan, tetapi pada saat yang dianggap lebih tepat oleh Allah, bukan pada saat yang diminta oleh seorang hamba, seperti do’anya Nabi Ibrahim yang memohon agar Mekah Al Mukarromah dijadikan negeri yang banyak dikunjungi manusia dan menjadi negeri yang kaya raya. Kini kita selalu dapat menyaksikan, betapa berjuta-juta orang datang berkunjung ke negri Mekah dari segala penjuru dunia untuk menunaikan haji memenuhi panggilan Allah Swt, dan negeri ini menjadi negeri yang kaya raya karena banyaknya cadangan minyak bumi yang ada di sana.
Kemungkinan ketiga adalah do’a itu tidak dikabulkan, tetapi diganti oleh Allah dengan sebuah kebaikan, sehingga seorang hamba yang rajin berdo’a dapat terhindara dari sebuah bencana atau cobaan dari-Nya.
Oleh karenanya, berdo’a dalam setiap kesempatan mutlak dilakukan oleh seorang mu’min, untuk mengharap pertolongan Allah, senantiasa dapat berjalan di jalan yang benar, dan terhindar dari bencana dan cobaan-Nya, disertai dengan rasa penuh harap kepada Allah dan penuh rasa takut kepada-Nya, serta tawakkal terhadap segala takdir yang ditentukan oleh-Nya setelah berusaha dan berdo’a. Sehingga tiada pernah ada prasangka buruk melintas dibenak kita kepada Sang Penentu, Rabb semesta alam Pencipta dan Pemilik kita. Wallahu 'a’lam bishshowaab. (Ummu Shofi/ari_aji_astuti@yahoo.com)
Category: 0 komentar

Kertas Hitam Putih


eramuslim - Disuatu kelas, guru agama di sekolah itu meminta murid-muridnya mengeluarkan dua lembar kertas berwarna hitam dan putih, sesuai dengan perintah kemarin agar membawa kertas tersebut. Tidak lupa, para murid itu juga sudah menyiapkan pinsil warna yang juga hitam dan putih. Kemudian guru tersebut meminta murid-muridnya untuk menuliskan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan dari yang terkecil hingga kesalahan yang besar diatas kertas putih dengan menggunakan pinsil hitam. Sedangkan kertas hitam, para murid diminta menuliskan hal-hal baik yang pernah dikerjakannya dengan menggunakan pinsil berwarna putih.
Satu jam berselang, para murid hampir selesai menuntaskan tugasnya menuliskan semua kesalahan di kertas putih yang menggunakan pinsil warna hitam. Bahkan karena terlalu banyaknya kesalahan yang diperbuat, mereka tak lagi menemukan ruang kosong di kertas putihnya. Namun guru itu memaksa para murid untuk memanfaatkan ruang sekecil apapun yang masih tersisa di kertas itu untuk menuliskannya, walaupun harus dengan tulisan-tulisan yang kecil dan tak terlihat. Hingga hasilnya, semua kertas putih di tangan murid-murid itu berubah menjadi hitam. Hampir tak ada celah seruas pun di kertas itu, bahkan sebagian murid mengaku masih banyak kesalahan yang belum tertulis disitu.
Setelah itu, guru meminta murid-murid itu mengerjakan tugas berikutnya, yakni menuliskan kebaikan-kebaikan diatas kertas hitam menggunakan pinsil putih. Dalam waktu satu jam, nampak mereka merasa kesulitan membuat kertas hitam itu terwarnai dengan coretan-coretan kebaikan berwarna putih. Satu kebaikan mereka tulis, membuat mereka tersenyum karena bisa memutihkan kertas hitam itu meski sedikit. Namun hingga waktu yang ditentukan selesai, mereka murung, karena kertas hitam itu masih tetap dominan warna hitam. Teramat sedikit warna putih diatasnya, bahkan tak sampai separuh kertas hitam itu terisi. Tak jarang pula ada murid-murid yang malu karena hanya beberapa coretan putih saja menghias kertas hitamnya.
Saudaraku, hati yang fitrah, ini semakin lama akan semakin hitam pekat jika terus menerus kita menorehkan noda dosa diatasnya. Saking hitamnya hati ini, kesalahan demi kesalahan berikutnya semakin memekatkan warna hitam itu, hingga nyaris tak ada lagi salah dan dosa yang bisa terdeteksi dan tersensor dalam hati, karena cahaya dalam hati ini tak lagi bersinar. Hanya ada satu cara untuk kembali membersihkan hati itu agar kembali fitrah, yakni dengan memperbanyak kebaikan. Dengan itu, cahaya hati yang redup perlahan akan kembali bersinar, memancarkan sinar putih kemilau dari dalam hati yang menenangkan jiwa. Teruslah berbuat kebaikan, agar tak ada lagi warna hitam dalam hati ini, dan yang terpenting, kita takkan malu menghadap Allah dengan wajah dan hati yang penuh sinar putih kesucian. Wallahu ‘a’lam bishshowaab (Bayu Gautama)
Category: 0 komentar

Hadiah ulangtahun dari Om


Hut ke 2, mendapatkan hadiah boneka dari Om IINg, dibeli dari Surabaya.

terima kasih, ya . . . . . . .om.

Bunga Untuk Ibu


eramuslim - Ibu pernah memintaku membersihkan lantai sesaat setelah aku menumpahkan bubur saat sarapan pagi. Tapi, bukan sapu atau kain lap pel yang kuambil ke belakang, karena aku malah berlari keluar melalaui pintu belakang untuk menyusul teman-teman bermain. Hal yang hampir sama juga kulakukan, saat ibu berharap aku menyapu halaman bekas aku dan teman-teman bermain dan mengotori halaman dengan sobekan kertas. Meski beberapa teman melirikkan matanya agar aku segera menuruti ibu, tapi yang kulakukan justru tak menggubris perintahnya dan selekas mungkin mengajak teman-teman bermain di tempat lain.
Pernah satu kali, ibu memanggilku saat aku belajar. Dengan alasan "sedang belajar" aku tak mengindahkan panggilannya, meski entah sudah hitungan keberapa namaku disebutnya. Dan jika, dalam kondisi tak sabar setelah berkali-kali aku tak juga menyahut, ibu menghampiri ke kamarku, segera aku berpura-pura tertidur dengan buku yang masih dalam dekapan. Itu kulakukan, karena aku malas keluar rumah untuk membelikan barang belanjaan ibu di warung depan gang yang hanya berjarak tidak lebih 20 meter.
Diwaktu lain, ibu berpesan agar aku segera pulang setelah pulang sekolah. Namun seperti biasa, aku selalu mampir ke tempat-tempat biasa aku bermain, dan mengatakan kepada ibu bahwa terlalu banyak aktifitas di sekolah yang harus aku ikuti, demi memperkaya pengalaman dan ketrampilan. Sesekali, aku juga mengelabui ibu dengan tuntutan uang ini-itu dari sekolah yang wajib dibayar selain uang SPP. Kupikir, mungkin ibuku bodoh sehingga selalu mempercayai setiap permintaan uang tersebut yang sesungguhnya selalu kugunakan untuk mentraktir teman-temanku, sekedar untuk menunjukkan kelas sosial dan 'sogokan' agar aku bisa diterima oleh teman-teman. Meski setelah itu kuketahui, bahwa tidak jarang ibu berhutang untuk menutupi semua 'biaya' itu berharap agar aku bisa menjadi anak yang cerdas, trampil dan bisa diandalkan, aku masih tetap tak menyesal.
Disuatu hari minggu, saat aku tak sekolah, dan tak ada kegiatan apapun diluar rumah. Ibu memintaku mengantarkannya ke pasar karena hari itu akan ada acara keluarga di rumah, yang karena itu ibu harus belanja lebih banyak dari biasanya. Segera otakku berputar mencari-cari alasan agar aku bisa "bebas" dari tanggungjawab itu. Akhirnya, kuberbohong kepada ibu dengan mengatakan bahwa di sekolah ada kegiatan ekstrakurikuler yang "wajib" diikuti oleh semua siswa. Niat berangkat ke sekolah, aku justru nongkrong di Mall, bertemu dengan teman-teman sepermainanku yang -bisa jadi- kebanyakan juga lari dari tanggungjawab membantu orang tua di hari libur.
Kemarin, ibu berharap aku mau membantunya melakukan beberapa pekerjaan rumah yang lumayan berat karena ibu saat itu tak sanggup melakukan semuanya. Ibuku tengah sakit. Tapi aku malah tak mempedulikannya, karena kupikir tak semestinya aku melakukan semua tugas rumah tangga itu. Akhirnya, dalam keadaan sakit, dengan nafas yang tersengal, ibu sendiri yang mengerjakannya, sementara aku tetap asik dengan urusan dan mainanku.
Hari ini, ada sekuntum bunga persembahan dariku yang pasti tak ada harganya dari semua pengorbanan ibu. Tak membalas semua cintanya, tak membayar jerihnya, tak menghilangkan semua luka dan kecewanya, tak meringankan bebannya, tak menghentikan tangisnya, tak membasuh setitikpun peluhnya, bahkan tak menyembuhkan sakitnya, apalagi mengembalikan ibu kepadaku. Karena ibu, yang penuh cinta dan kasih terhadap anaknya ini, kini terbujur lurus dihadapanku. Kupikir, karena aku tak mencintainya dengan segala perilaku burukku terhadap ibu, Allah lebih mencintainya dan mengambilnya dariku. Maafkan aku ibu. Kuharap ibu tahu, bunga cintaku tak pernah luruh. Wallahu 'a'lam bishshowaab (Bayu Gautama, Untuk seorang sahabat, kuyakin ia melihatmu menangis)
Category: 0 komentar

Just Say, Thanks!


eramuslim - Karena terburu-buru, saya lompat dan menerobos masuk ke dalam gerbong yang sudah berjalan pelan, hap, berhasil ! tapi ... ups, sikut saya menghantam pelipis seorang bapak bertubuh tegap yang berdiri di pintu gerbong. Belum sempat saya meminta maaf, karena disibukkan perasaan berkecamuk antara takut kena damprat dan egoisme yang bermain-main di benakku, “salah sendiri berdiri di pintu”, ternyata dia malah berucap, “terima kasih”. Saya jadi malu sendiri, kata maaf tak jadi keluar, malu bercampur kagum mendapati senyum yang keluar dari mulutnya, plus heran, kok tidak marah sekalipun sikut saya cukup keras mengenai pelipisnya. Ingin saya bertanya, apa gerangan yang membuatnya bisa ‘memaafkan’ orang yang berbuat salah terhadapnya, dan justru –ini yang aneh- berterima kasih kepada orang yang berbuat ‘kasar’.
Saya pernah mendengar sebuah kisah, dimana seorang pria yang terkenal beringas, temperamental, mudah terpancing emosinya, dan tidak jarang berkelahi dengan alasan-alasan yang sepele, mendatangi seorang ulama. Kepada sang ulama, pria itu mengeluhkan sikap-sikapnya yang belakangan baru disadari, bahwa ia sangat tertekan dengan semua itu, terlebih terlalu banyak korban dari sifat buruknya itu. terakhir, menurut pengakuannya, ia didamprat habis oleh seorang nenek-nenek akibat ketidakmampuannya menahan emosi. Kepada si pria, ulama itu hanya memberikan satu resep, yakni mencoba menjalani hidup satu hari ini untuk menerima semua perlakuan –seburuk apapun- orang lain terhadap dirinya. Tidak hanya itu, ia pun diminta bersyukur untuk setiap perlakuan buruk yang disengaja maupun tidak dari orang lain terhadapnya.
Maka coba dijalaninya lah satu hari ini sesuai petunjuk sang ulama. Belum sampai matahari vertikal lurus di atas kepalanya, seiring dengan panasnya terik, sebuah mobil yang berjalan perlahan menyenggol pinggangnya dan membuatnya terjerembab. Sopir mobil itu segera turun dan hendak menolong, sekaligus minta maaf, namun “plakk ...” sebuah tamparan keras mendarat di bagian kanan wajah sopir itu, kali ini, ganti ia yang tersungkur. Gagallah pria itu. Padahal sebelumnya, semenjak pagi ia sudah mencoba menahan amarah kepada tukang becak yang hampir menabraknya, terhadap orang-orang yang menginjak kakinya di bus yang penuh sesak, dan termasuk kepada kondektur bis yang lupa mengembalikan kelebihan ongkosnya.
Jengkel, dan kesal merasa dikerjai oleh sang ulama, sore harinya ia mendatangi ulama kediaman ulama itu. Tanpa basa-basi, belum sepatah kata terucap, sebuah pukulan keras mendarat di wajah sang ulama. Tersungkur, jatuh dan dari sudut bibirnya keluar darah, tapi hanya kata “terima kasih” yang terucap. Pria yang tadinya hendak mendamprat habis sang ulama karena mengira resepnya hanya membuatnya semakin ditindas orang dan seperti orang yang tidak punya harga diri, mengurungkan niatnya. Ia berpikir, bagaimana mungkin ada orang yang disengaja dizalimi, tidak marah, dan hanya berucap “terima kasih”. Sedangkan yang baru saja ia lakukan siang tadi, ia menampar penuh amarah sopir mobil yang jelas-jelas tidak sengaja menyerempetnya.
Dari kisah itu, kita bisa berpikir, kalaulah kita mampu menerima dan memaafkan ketidaksengajaan orang lain, meski terkadang menyakitkan, pastilah kita bisa lebih berjiwa besar untuk hal-hal berikutnya. Sang ulama mencontohkan langsung, dizalimi dengan sengaja, ia masih bisa memaafkan, bagaimana dengan orang yang tidak sengaja? maha lapang ruang maaf di hatinya.
Dua belas tahun lalu, saya pernah mengikuti satu pelatihan, dimana salah satu sessi materi dari pelatihan yang berlangsung satu pekan itu, menghadirkan saya di hadapan semua peserta yang lain. Trainer yang memberikan materi pada sessi itu, mempersilahkan semua peserta mengkritik habis, mengevaluasi, bahkan membeberkan sekecil apapun kejelekan, kekurangan saya. Tidak boleh ada yang memuji sekiranya ada satu saja kebaikan pada diri saya. Sebagai manusia yang memiliki sifat defensif, tentu saya harus membantah, berkelit atau berargumentasi terhadap setiap kritik pedas dari teman-teman peserta. Tapi, peraturannya tidak demikian, saya hanya boleh mengucapkan “terima kasih” untuk semua kritikan itu. Awalnya saya masih belum mengerti maksud sessi tersebut, sehingga pada giliran seorang teman lain dihadirkan di depan kelas, saya berpikir inilah saatnya balas dendam. Tapi, entah kenapa, ada perubahan yang hebat sedetik menjelang saya mencoba menghujaninya dengan kritikan. Kritikan tetap meluncur, tapi ianya mengalir dengan tenang, tanpa emosi dan tidak ada motif balas dendam. Terus demikian hingga peserta terakhir menjalani prosesi yang sama.
Setelah pelatihan tersebut, saya baru mengerti, perlu jiwa yang besar, hati yang bersih untuk bisa menerima setiap keadaan yang tidak terduga yang bakal terjadi terhadap diri ini. Langit tak selamanya cerah, demikian halnya dengan hidup, tak selamanya menyenangkan, dan menceriakan. Kekecewaan, kegagalan, ketersinggungan, pengalaman pahit dan hal-hal tidak mengenakkan, pun senantiasa mampir dalam perjalanan kehidupan. Namun, bisakah kita menerima setiap lintasan tidak menyenangkan itu seikhlas saat kita mendapati keberhasilan, dan kesenangan?
Yang jelas, kita perlu sadari, dalam hati manusia sangat mungkin tertanam benih-benih kesombongan, merasa hebat, merasa lebih, yang kemudian semua rasa itu menyesakkan seluruh rongga dada ini. Sehingga kemudian, saat kita mengalami kegagalan, seperti tak ada ruang untuk menerima kekecewaan, ketika secara tak sengaja orang lain berbuat salah, tak ada lagi ruang di bilik hati ini untuk memaafkan.
Pelajaran bersyukur dengan mengucapkan “terima kasih” untuk hal-hal pahit dan jelek, juga kadang menyakitkan kepada kita, akan mampu mengikis habis kesombongan, dan perasaan lebih hebat, lebih baik, lebih segalanya dari orang lain, sehingga untuk kemudian, dada ini layaknya hamparan padang ikhlas yang maha luas yang siap menampung semua kepahitan dan kekecewaan, hati ini seperti lautan cinta dan kasih sayang yang siap memaafkan semua kesalahan orang lain, disengaja ataupun tidak. Kalaulah untuk hal-hal disengaja, kita mampu menerima ikhlas dan memaafkan, bayangkan betapa ringannya sekedar memaafkan perbuatan salah orang lain yang tidak disengaja. Lagipula, sudah barang tentu, seperti saya terhadap orang yang kena sikut di kereta, sungguh takjub dan kagum saya terhadapnya.
Sedikit bersabar dan menahan emosi, kalau perlu berucap “terima kasih” kepada orang yang berbuat zhalim terkadang perlu dilakukan. Hal ini untuk melatih kesabaran kita dan menjadikan kita orang-orang yang berjiwa besar. Namun, seperti kata orang banyak, sabar ada batasnya, saya percaya, pada satu kondisi tertentu, saat diperlukan, memperingatkan orang lain yang tak tahu diri dan keterlaluan, juga wajib dilakukan. Hanya saja, kita punya cara yang beradab, sopan dan tidak menjatuhkan harga diri.
Ngomong-ngomong, saya melirik pria di sebelah saya yang tadi tersikut, dia masih tersenyum. Dan kali ini saya membalasnya dengan senyuman, sambil terus mengira-ngira, jangan-jangan, ini pria yang kisahnya pernah saya dengar itu ... Wallahu ‘a’lam bishshowaab (Bayu Gautama).
Category: 0 komentar