eramuslim - Bukan sesuatu yang ringan ketika seorang ibu melepaskan anaknya menuntut ilmu sambil mondok di sebuah pesantren. Si anak tertua yang cerdas dan masih duduk dibangku sekolah dasar. Tidak pula sesuatu yang menentramkan hati bila seorang ibu tak bisa lagi memandangi wajah anaknya diwaktu malam, ketika tengah pulas tertidur. Hanya demi kepentingan masa depan buah hatinya, ia berupaya meredam rintih sedih itu semua. Dan meyakinkan diri sekuat-kuatnya, bahwa anaknya akan beroleh ilmu dan pengajaran dari guru yang lebih baik. Ilmu yang lebih dari yang dapat ia berikan selama sang anak masih bersamanya.
Memang ia tak menunjukkan raut muka sedih ketika memandangi kamar baru anaknya yang sederhana. Memperhatikan meja belajar, lemari pakaian, serta tempat tidur susun, tempat anaknya akan tinggal bersama beberapa anak lainnya. Dia malah tersenyum saja dan berkisah tentang hal-hal yang menggembirakan kepada anaknya sambil duduk beriringan disisi tempat tidur. Memeluk dan meninggalkan buah hatinya di seberang pintu gerbang, kemudian menunggu kendaraan umum yang akan mengantarnya kembali.
Namun seorang ibu tetap lah seorang wanita. Bagaimanapun ia tegar dihadapan anaknya, tak kuasa ia menyembunyikan perasaan di depan Rabb-nya. Betapa ia kesulitan ketika membaca Al-Qur’an selepas maghrib seperti biasanya. Tenggorokannya seakan-akan terasa sesak, nafasnya pendek-pendek. Hingga seringkali ia bisa membaca ayat demi ayat dalam kitab suci itu hanya dalam hati saja. Isak tangis juga sering terdengar di keheningan malam dalam kepasrahan tahajjudnya. Saya masih ingat beberapa kata dalam do'anya yang nyaris tak bersuara.
"Ya Allah, hambamu ini hanya lah seorang ibu yang biasa, tak ada sesuatu yang istimewa kecuali amanah yang Engkau berikan. Wahai Dzat yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, hanya kepada-Mu hamba titipkan nasib dan masa depan anak-anak hamba. Ya Allah lindungilah mereka, karuniakanlah anak-anak hamba keberkahan, tinggikanlah derajatnya, terangkanlah pikirannya, jernihkanlah hatinya, selamatkanlah mereka di dunia dan akhirat." Lalu ia menyebut nama suami dan anaknya satu persatu. Dan selepas shubuh berjalanlah ia ke pasar sebagaimana biasanya, menggelar dagangannya seperti para pedagang lainnya.
Tentu akan banyak ibu-ibu pejuang seperti itu di tanah air kita. Berjuta jumlahnya dan terserak dimana-mana. Berpuluh tahun mereka melakoni episode kehidupan yang amat berat untuk sebagian orang, mungkin juga kita diantaranya. Bagi mereka, kesusahan itu sudah tak dirasakan kesusahan lagi saking biasanya. Kepedihan dan keperihan menjadi sesuatu yang normal karena seringnya.
Kini, beban kesulitan itu akan lebih menekan lagi. Payahnya mencari nafkah, berbagai jenis persoalan hidup yang lebih berat sudah berderet antri di depan mata. Harga-harga barang sudah merambah naik, sementara tak ada jaminan bahwa penghasilannya mereka juga akan bertambah. Tak ada gaji ataupun tunjangan untuk besok hari dan hari-hari berikutnya. Yang ada hanyalah terus-menerus kerja lembur dan "mematikan" berbagai keinginan atau kesenangan memiliki barang.
Di depan manusia mereka menjadi golongan kecil dan lemah saja. Menjadi bagian masyarakat yang tidak penting untuk dicatat dalam sejarah bangsa yang besar seperti Indonesia. Sebuah negeri yang banyak meyimpan cerita kemewahan para pejabat dan pengusahanya. Cerita kejayaan pemimpin dengan kekuasaannya. Kenangan akan kefleksibelan hukum dan peraturan yang dibuat oleh ahli-ahli hukumnya. Tapi yakinlah bahwa itu semua tak paralel dengan senyum dan kebahagiaan sebagian besar rakyatnya. Tidak mesti senada dengan ibu-ibu pedagang kecil yang semenjak shubuh sudah tertatih menggendong barang dagangan. Demikian jauh perbedaan kehidupan antara rakyat dan pejabat yang mengurusinya. Begitu lebar ketimpangan sosial orang kaya dengan rakyat biasa.
Betapa ibu-ibu kita begitu bersih hatinya. Tak ada dendam, tak ada makian atau kata-kata kotor lainnya. Allah Maha Tahu betapa mereka amat sulit hidupnya. Kesulitan yang seringkali diabaikan saja oleh golongan lainnya, bahkan oleh orang-orang yang diberi amanah untuk memimpin mereka. Orang-orang yang semestinya membantu perbaikan nasib dan mensejahterakannya.
Betapa bangsa kita amat berhutang pada ibu-ibu mulia itu. Mungkin karena do'a dan air mata pengharapannya, karena perih dan letih yang disimpan saja, Allah masih bersabar terhadap kelakuan manusia lainnya di muka bumi ini. Banyak orang kadang merasa besar dan penting, lebih berpendidikan serta berwawasan luas. Kekuasaan dan ketinggian jabatan yang dicapai sering menjadi bandrol harga penghargaan yang harus diberikan orang. Merasa sudah berbuat banyak dan mempunyai jasa yang tak terhingga. Hidup sudah sedemikian melambung dan tak ingin kehilangan itu semua. Kemiskinan jadi hal yang harus disembunyikan, kekurangan lantas menjadi pantangan dan harus dipenuhi dengan jalan apa saja. Hilang sudah getaran iba dan rasa sayang pada orang papa dan penuh kesusahan dalam hidupnya.
Tak pernah berusaha menemani kesedihan "wong cilik" walau sebentar saja. Menatap seorang ibu pada suatu siang yang terik, sepulang dari pasar yang jauh dari prasyarat kesehatan, berjalan ibu kita ini kembali dengan dagangan yang hampir utuh. Pulang dengan menangis yang tak keluar. Dan lebih perih lagi ketika hari itu pula si sulung datang mengharap uang untuk membayar pondok dan sekolahnya. Sungguh suatu situasi yang menggetarkan, menatap mata duka sang ibu mulia ini.
Kalau saja pada saat itu Sayidina Umar bin Khaththab dihadirkan kembali. Tentulah akan pucat wajah khalifah yang diridhai Allah ini, dan gemetar tubuhnya. Segemetar kala beliau mendapati diantara rakyatnya yang kelaparan di suatu malam.
Kalau saja pada momen menggetarkan tersebut, hadir pula orang yang diberikan amanah berupa tanggung jawab untuk memperjuangkan nasib ibu kita...
din-din (mukhyidin@yahoo.de)
0 komentar:
Posting Komentar