Imam Ibnu Manzhur rahimahullaH berkata tentang silaturahmi,
“Al Imam Ibnul Atsir, berkata, ‘Silaturahmi adalah ungkapan mengenai perbuatan baik kepada karib kerabat karena hubungan senasab atau karena perkawinan, berlemah lembut kepada mereka, menyayangi mereka, memperhatikan keadaan mereka, meskipun mereka jauh dan berbuat jahat. Sedangkan memutus silaturahmi, adalah lawan dari hal itu semua’” (Lisaanul ‘Arab XV/318)
Dari pengertian di atas, maka silaturahmi hanya ditujukan pada orang-orang yang memiliki hubungan kerabat dengan kita, seperti kedua orang tua, kakak, adik, paman, bibi, keponakan, sepupu dan lainnya yang memiliki hubungan kerabat dengan kita.
Sebagian besar kaum muslimin salah dalam menggunakan kata silaturahmi. Mereka menggunakannya untuk hubungan mereka dengan rekan-rekan dan kawan-kawan mereka. Padahal silaturahmi hanyalah terbatas pada orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan kita. Adapun kepada orang yang bukan kerabat, maka yang ada hanyalah ukhuwah Islamiyyah.
Silaturahmi yang hakiki bukanlah menyambung hubungan baik dengan orang yang telah berbuat baik kepada kita, namun silaturahmi yang hakiki adalah menyambung hubungan kekerabatan yang telah retak dan putus dan berbuat baik kepada kerabat yang berbuat jahat kepada kita. Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda,
“Orang yang menyambung kekerabatan bukanlah orang yang membalas kebaikan, tetapi orang yang menyambungnya adalah orang yang menyambung kekerabatannya apabila diputus” (HR. al Bukhari no. 5991, Abu Dawud no. 1697 dan at Tirmidzi no. 1908, dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaHu ‘anHu)
Imam ar Raghib al Asfahani rahimahullaH menyatakan bahwa rahim berasal dari kata rahmah yang berarti lembut, yang memberi konsekuensi berbuat baik kepada orang yang disayangi (Mufraadaat al Faazhil Qur’aan, hal. 347)
Ar Rahim adalah salah satu nama Allah Ta’ala. Rahim (kekerabatan), Allah Ta’ala letakan di ‘Arsy. Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam bersabda,
“Rahim itu tergantung di ‘Arsy. Dia berkata, ‘Siapa yang menyambungku, Allah akan menyambungnya. Dan siapa yang memutuskanku, Allah akan memutuskannya’” (HR. al Bukhari no. 5989 dan Muslim no. 2555, dari ‘Aisyah radhiyallaHu ‘anHu, lafazh ini milik Imam Muslim)
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan” (QS. Al Baqarah : 27)
Dalam menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnu Jarir ath Thabari rahimahullaH berkata,
“Pada ayat di atas, Allah menganjurkan hamba-Nya agar menyambung hubungan kerabat dan orang yang memiliki hubungan rahim, serta tidak memutuskannya” (Tafsir ath Thabari I/221)
Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam mengaitkan antara menyambung silaturahmi dengan keimanan terhadap Allah Ta’ala dan Hari Akhir, beliau besabda,
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia menyambung silaturahmi” (HR. al Bukhari no. 6138, dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallaHu ‘anHu)
Dengan bersilaturahmi, Allah Ta’ala akan melapangkan rezeki dan memanjangkan umur kita, sebagaimana sabda Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam,
“Barangsiapa yang suka diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi” (HR. al Bukhari no. 5986 dan Muslim no. 2557)
Sebaliknya, orang yang memutus silaturahmi, Allah Ta’ala akan sempitkan rizkinya atau tidak diberikan keberkahan pada hartanya. Adapun haramnya memutuskan silaturahmi telah dijelaskan oleh Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam,
“Laa yadkhulul jannata qaathi’un” yang artinya “Tidak masuk surga orang yang memutus silaturahmi” (HR. al Bukhari no. 5984 dan Muslim no. 2556, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallaHu ‘anHu)
Sumber Bacaan :
Wasiat Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam Kepada Abu Dzar al Ghifari, Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Majalah as Sunnah, Edisi Ramadhan, 06-07/Tahun XI/1428 H/2007M.
Mudah2an bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar