eramuslim - Orang-orang yang tinggi idealismenya tidak jarang hanya beraksi pada tataran wacana, bahwa ia harus melakukan gebrakan besar ini, terobosan besar itu. Tetapi pada kenyataannya energinya seringkali habis hanya untuk menelorkan dan membahas wacana-wacana besar itu dan tidak sampai pada aktualisasi ide. Di sisi seberangnya, ada orang-orang yang justru aktif melakukan hal-hal kecil, tetapi melulu dan berkutat disitu. Tidak ada hal-hal besar dan ideal yang menjadi tujuannya. Maka jadilah apa yang dikerjakannya hanya sebatas menghabiskan waktu, sehingga pada saat umurnya sudah menua barulah ia menyadari bahwa yang dilakukannya selama ini adalah hal kecil yang tidak membuatnya besar.
Jika kita mau mengambil pelajaran, apa yang dikatakanya Rasulullah, mulailah dari diri sendiri sebenarnya tidak hanya bermakna keteladanan agar bisa dicontoh oleh orang lain. Kalimat itu juga bisa mengajarkan kepada kita bahwa sesuatu yang baik harus dimulai dari dalam baru kemudian keluar. untuk bisa menjangkau hal-hal diluar, seharusnya kita sudah menggenggam segalanya yang ada didiri ini, untuk melangkah ke depan, sebaiknya dipastikan kaki ini sudah mampu berdiri menapak dengan kuat, selanjutnya terserah, mau berlari atau melakukan lompatan sejauh apapun. Untuk bisa menguasai (memimpin) orang lain, sudah sepantasnya kita tak lagi bingung mengendalikan diri, untuk dapat berbicara dengan baik kepada orang lain berarti juga sebelumnya kita lebih dulu mengerti apa yang sebenarnya hendak kita sampaikan. Semua itu berlaku secara alami, dan jika ada yang mencoba melanggar aturan alami itu, sudah bisa dipastikan ketidakmaksimalannya. Anda bisa saja melompat namun mungkin kaki anda akan terkilir atau patah. Anda bisa juga berbicara dengan bebasnya meski anda sendiri pun tidak jelas apakah memahaminya atau tidak, tapi jangan salahkan kalau orang lain hanya akan mengangguk didepan anda sebelum kemudian perlahan meninggalkan anda.
Sesuai dengan proses kejadian manusia, bahwa tidak ada manusia yang langsung terlahir besar. Ia dimulai dari seorang bayi merah tanpa daya apapun, kemudian tumbuh sebagai anak lincah yang baru bisa berjalan satu-dua langkah. Beberapa tahun kemudian, ia mulai sekolah. Bertambahlah pengetahuannya dari yang sudah ada sebelumnya. Ketika besar, selain pengetahuan, kemampuan motoriknya juga lebih sempurna. Demikian halnya dengan pekerjaan, melakukan hal yang kecil terlebih dulu sebelum mencoba sesuatu yang besar, mengangkat yang ringan terlebih dulu sebelum yang berat, kerjakan dulu yang terjangkau tangan, sebelum memaksakan sesuatu yang diluar cakrawala kita.
Namun yang perlu diingat, pesan mulailah dari diri sendiri bermakna bergerak. Arti kata 'mulai' berarti melakukan sesuatu yang tidak berhenti disitu. Jadi ketika sudah melakukan hal yang kecil, cobalah sesuatu yang lebih besar. Jangan puas dengan pekerjaan yang ringan-ringan saja, sebelum mencicipi kenikmatan dari hasil kerja berat. Dan melangkahlah keluar menembus cakrawala agar menghabiskan waktu hidupnya dari perkembangan ke perkembangan berikutnya.
Sebaiknya kita tidak seperti seorang anak kecil yang melempar batu jauh ke depan, dan meminta temannya mengambilkannya. Padahal setelah melempar batu, semestinya kita berlari menuju dimana batu terjatuh dan kemudian melemparkannya kembali ke depan. Sehingga di medan lemparan berikutnya bukan tidak mungkin kita menemui hambatan yang berbeda, bisa berupa angin kencang yang menghambat laju batu, atau pohon besar yang menghalangi. Dan seterusnya seperti itu. Ini mengajarkan kita untuk senantiasa bergerak dan tidak puas berhenti disatu tempat mengulangi rutinitas yang sama, dan jelas tidak berkembang. Tidak ada sesuatu yang baru. Juga tidak mengalami tantangan baru.
Oleh karenanya, bekalilah diri ini dengan jam penunjuk waktu dan kompas sebagai penunjuk arah (tujuan). Jangan hanya memiliki jam tangan karena kita akan terjebak pada rutinitas yang melelahkan tanpa tujuan (cita-cita) yang jelas namun waktu yang ada habis tanpa hasil yang signifikan. Jangan pula hanya melengkapi diri dengan kompas tanpa jam penunjuk waktu. Karena kita hanya akan sibuk menentukan tujuan tanpa melakukan apa-apa karena kita tidak pernah tahu kapan harus memulai.
Bahwa manusia harus menjaga keseimbangan dalam segala hal, itu suatu keniscayaan terhadap signifikansi hasil yang bakal diraih. Berada pada posisi aman dan tidak berani mencoba tantangan baru, jelas membuat kita menjadi kerdil. Berpikir besar tentang semua idealisme tanpa memulainya dengan hal-hal yang kecil, tentu ibarat calo di terminal bis kota. Orang lain sudah sampai di tujuan kita masih tertinggal di landasan. Menikmati pekerjaan rutin yang kecil dan cukup puas dengan hasil yang didapat ternyata juga terkadang membuat hati mendengki terhadap orang-orang yang berhasil karena hidup dinamis dan berani bergerak (maju).
Padahal jelas-jelas Allah memerintahkan kita untuk menjadi ummatan wasathan, agar diri ini senantiasa menyeimbangkan posisi dan keadaan. Tidak jatuh terpuruk dan terus menerus berkubang dengan kesulitan, tetapi juga tetap menjaga jarak untuk tidak merasa sejajar dengan Yang Maha Tinggi agar tidak menjadi takabur. Wallahu a’lam bishshsowaab (Bayu Gautama)
0 komentar:
Posting Komentar