eramuslim - Ada sebuah kisah seorang panglima perang besar kaum muslimin Amru bin Ash yang begitu mulia hatinya. Saat fajar sebelum berangkat melakukan penyerbuan ke wilayah musuh yang menentang Islam, para pasukan terheran karena hanya tinggal tenda Sang Panglima yang masih utuh belum dikemas. Amru Bin Ash mendapati seekor burung betina bertengger diatas tendanya tengah mengerami telurnya. Karena itu, ia terpaksa menunda keberangkatan pasukannya. Kejadian tersebut sungguh mengherankan dua penyusup dari pasukan musuh yang menyamar dalam pasukan kaum mukminin. Padahal pendelegasian keduanya menyusup itu karena sebelumnya para pembesar dan masyarakat yang akan diserang mendengar berita tentang kekejaman Panglima Amru bin Ash beserta pasukannya. Pasukan mukmin tak jadi menyerang wilayah yang direncanakan tersebut, karena dua penyusup tadi telah mengkhabarkan kepada penguasa dan masyarakat tentang kemuliaan dan sifat kasih kaum mukminin. Mereka pun menerima kedatangan Amru bin Ash dan pasukannya dengan tangan terbuka.
Satu kisah menarik tentang kemuliaan Islam dan kaum mukminin yang sepatutnya direnungkan oleh ummat Islam saat ini. Betapa keterpurukan atau kejayaan Islam, bergantung pada ummat Islam itu sendiri. Anda tak perlu memalingkan muka ketika seorang turis ‘iseng’ bertanya kepada Anda, “Kereta api ini kotor sekali? Bukankah sebagian besar penumpang kereta ini adalah muslim?” Tidak hanya kereta api atau angkutan umum lainnya yang tak terjaga kebersihannya, tapi juga semua sarana umum seperti jembatan penyeberangan, halte, telepon umum, dan (bahkan) rumah sakit. Telepon umum misalnya, selain tidak bersih dan penuh coretan, sebagian besar sudah tidak berfungsi dirusak oleh tangan-tangan tak bertanggungjawab. Memang belum tentu ‘orang muslim’ yang melakukannya, tapi juga tidak bisa disalahkan jika orang menganggap demikian karena kenyataannya, ummat Islam memang penghuni terbesar di jagad Indonesia ini.
Fenomena-fenomena aneh kadang membuat kita harus berpikir kenapa sampai terjadi. Bukan sekedar soal Inul yang didukung habis-habisan oleh banyak pihak dan ketidakberdayaan Rhoma Irama dan para ulama menentang goyang ngebor penyanyi asal Pasuruan itu. Masalah Inul ini, jadi cerminan bagi ummat Islam bahwa seolah kita sama sekali tak memiliki harga diri dan kekuatan untuk menentang bentuk-bentuk ketidakbenaran. Betapa tidak, karena dalam lingkungan internal ummat Islam itu sendiri, kita tak bisa banyak berbuat dan mencari solusi. Misalnya saja, kenapa bisa terjadi seorang jama’ah kehilangan sandal di Masjid? Orang bisa saja mengatakan bahwa pencurinya pasti bukanlah salah seorang jama’ah masjid itu sendiri karena salah satu tujuan orang melakukan sholat adalah menjauhkan diri dari perbuatan keji dan munkar. Tetapi ketika orang tak lagi takut untuk mencuri di suatu tempat suci seperti masjid, adalah hal memprihatinkan, bahwa suatu saat, orang akan bisa berbuat semaunya di (dalam) masjid. Meski tidak harus disamakan, ini seperti perumpamaan orang yang berani mencuri di kantor polisi, sungguh ironi.
Para Pelajar di sekolah yang menyontek saat ujian mata pelajaran agama, mungkin bisa jadi contoh lain betapa nilai-nilai agama tidak sepenuhnya menjadi baju yang senantiasa melekat dari diri, sehingga sebagian masyarakat kita belum benar-benar menghargai agamanya (dan ajaran-ajaran didalamnya) sendiri. Jadi bukan tidak mungkin, di negara yang mayoritas ummat beragama Islam ini, -berkaca pada kasus Inul- kebenaran akan teramat mudah diberangus oleh kebatilan. Bahwa juga, mereka yang mencoba berusaha menegakkan kebenaran akan menanggung resiko menjadi pesakitan, mendapat teror dari berbagai pihak dan akhirnya harus mengaku menyerah kalah. Yang menyedihkan, hampir sebagian besar pendukung ketidakbenaran itu adalah mereka yang mengaku masih beragama Islam, ironi bukan?
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika sebagai muslim Anda akan risih dan merasa malu (seolah Islam tidak memiliki harga diri) menyaksikan hampir di setiap kendaraan umum orang-orang berpeci dan berjilbab lusuh menyodorkan amplop atau tromol pembangunan masjid atau yayasan yatim piatu tertentu. Pertanyaannya, apakah lembaga Badan Zakat Infaq Shodaqoh (BAZIS) yang dibentuk pemerintah sudah tidak lagi dipercayai memegang amanah mengumpulkan infaq atau memang masyarakatnya sendiri yang mulai berat untuk sekedar mengulurkan tangan sehingga harus ada yang menjemput infaq mereka dengan tromol dan amplop? Padahal praktek semacam ini pun, bukan rahasia lagi sangat mungkin dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang ingin mencari kekayaan dari sisa-sisa kebaikan masyarakat kita.
Rasulullah Saw tidak pernah mengajarkan kita untuk mencari-cari kehormatan, atau memaksa orang lain untuk memberikan penghormatannya. Karena yang beliau contohkan adalah, menghargai dan menghormati diri sendiri, maka dengan sendirinya, orang lain, ummat lain akan menghargai dan menghormati kita dengan utuh. Hal demikian dibuktikan langsung oleh beliau dalam kisah pemindahan Hajar Aswad. Semua pembesar kaum Quraisy dari berbagai kabilah pada saat itu merasa paling berhak mendapatkan kehormatan memindahkan Hajar Aswad ke tempat semula, sehingga sempat terjadi perselisihan. Namun akhrnya, disepakati bahwa yang datang paling pagi keesokan hari di tempat tersebutlah yang berhak dan mendapatkan kehormatan tersebut. Keesokan paginya, ternyata semua orang mendapati pemuda Muhammad tiba lebih awal di tempat tersebut dan berhak memindahkan Hajar Aswad. Namun bukan Muhammad jika tak bersikap bijaksana, dia ulurkan sorbannya dan meletakkan Hajar Aswad diatasnya, lalu Muhammad meminta empat pemimpin kabilah saat itu memegang masing-masing ujung sorban. Akhirnya, semua pembesar kabilah kaum Quraisy itu merasa puas dan senang karena mendapatkan kehormatan yang sama.
Kisah tersebut, tentu memberikan hikmah penting bagi kita ummat Rasulullah, bahwa kehormatan bukan dicari seperti halnya orang yang menunaikan ibadah haji karena hendak mendapat gelar haji dan dipanggil “Pak Haji”. Tetapi nilai-nilai seperti kesabaran dan pengorbanan yang didapat dari ibadah haji-lah yang mestinya tersemat dalam diri seorang muslim, sehingga orang akan menghormatinya bukan sebagai “Pak Haji” melainkan sebagai orang yang didalam dirinya terpatri nilai ibadah haji. Contoh ini juga berlaku dalam hal apapun di masyarakat kita, hanya dengan menghargai dan menghormati ajaran-ajaran agama sendiri, orang lain akan menghormati kita tanpa diminta. Wallaahu ‘a’alam bishshowaab (Bayu Gautama)
0 komentar:
Posting Komentar