eramuslim - Karena terburu-buru, saya lompat dan menerobos masuk ke dalam gerbong yang sudah berjalan pelan, hap, berhasil ! tapi ... ups, sikut saya menghantam pelipis seorang bapak bertubuh tegap yang berdiri di pintu gerbong. Belum sempat saya meminta maaf, karena disibukkan perasaan berkecamuk antara takut kena damprat dan egoisme yang bermain-main di benakku, “salah sendiri berdiri di pintu”, ternyata dia malah berucap, “terima kasih”. Saya jadi malu sendiri, kata maaf tak jadi keluar, malu bercampur kagum mendapati senyum yang keluar dari mulutnya, plus heran, kok tidak marah sekalipun sikut saya cukup keras mengenai pelipisnya. Ingin saya bertanya, apa gerangan yang membuatnya bisa ‘memaafkan’ orang yang berbuat salah terhadapnya, dan justru –ini yang aneh- berterima kasih kepada orang yang berbuat ‘kasar’.
Saya pernah mendengar sebuah kisah, dimana seorang pria yang terkenal beringas, temperamental, mudah terpancing emosinya, dan tidak jarang berkelahi dengan alasan-alasan yang sepele, mendatangi seorang ulama. Kepada sang ulama, pria itu mengeluhkan sikap-sikapnya yang belakangan baru disadari, bahwa ia sangat tertekan dengan semua itu, terlebih terlalu banyak korban dari sifat buruknya itu. terakhir, menurut pengakuannya, ia didamprat habis oleh seorang nenek-nenek akibat ketidakmampuannya menahan emosi. Kepada si pria, ulama itu hanya memberikan satu resep, yakni mencoba menjalani hidup satu hari ini untuk menerima semua perlakuan –seburuk apapun- orang lain terhadap dirinya. Tidak hanya itu, ia pun diminta bersyukur untuk setiap perlakuan buruk yang disengaja maupun tidak dari orang lain terhadapnya.
Maka coba dijalaninya lah satu hari ini sesuai petunjuk sang ulama. Belum sampai matahari vertikal lurus di atas kepalanya, seiring dengan panasnya terik, sebuah mobil yang berjalan perlahan menyenggol pinggangnya dan membuatnya terjerembab. Sopir mobil itu segera turun dan hendak menolong, sekaligus minta maaf, namun “plakk ...” sebuah tamparan keras mendarat di bagian kanan wajah sopir itu, kali ini, ganti ia yang tersungkur. Gagallah pria itu. Padahal sebelumnya, semenjak pagi ia sudah mencoba menahan amarah kepada tukang becak yang hampir menabraknya, terhadap orang-orang yang menginjak kakinya di bus yang penuh sesak, dan termasuk kepada kondektur bis yang lupa mengembalikan kelebihan ongkosnya.
Jengkel, dan kesal merasa dikerjai oleh sang ulama, sore harinya ia mendatangi ulama kediaman ulama itu. Tanpa basa-basi, belum sepatah kata terucap, sebuah pukulan keras mendarat di wajah sang ulama. Tersungkur, jatuh dan dari sudut bibirnya keluar darah, tapi hanya kata “terima kasih” yang terucap. Pria yang tadinya hendak mendamprat habis sang ulama karena mengira resepnya hanya membuatnya semakin ditindas orang dan seperti orang yang tidak punya harga diri, mengurungkan niatnya. Ia berpikir, bagaimana mungkin ada orang yang disengaja dizalimi, tidak marah, dan hanya berucap “terima kasih”. Sedangkan yang baru saja ia lakukan siang tadi, ia menampar penuh amarah sopir mobil yang jelas-jelas tidak sengaja menyerempetnya.
Dari kisah itu, kita bisa berpikir, kalaulah kita mampu menerima dan memaafkan ketidaksengajaan orang lain, meski terkadang menyakitkan, pastilah kita bisa lebih berjiwa besar untuk hal-hal berikutnya. Sang ulama mencontohkan langsung, dizalimi dengan sengaja, ia masih bisa memaafkan, bagaimana dengan orang yang tidak sengaja? maha lapang ruang maaf di hatinya.
Dua belas tahun lalu, saya pernah mengikuti satu pelatihan, dimana salah satu sessi materi dari pelatihan yang berlangsung satu pekan itu, menghadirkan saya di hadapan semua peserta yang lain. Trainer yang memberikan materi pada sessi itu, mempersilahkan semua peserta mengkritik habis, mengevaluasi, bahkan membeberkan sekecil apapun kejelekan, kekurangan saya. Tidak boleh ada yang memuji sekiranya ada satu saja kebaikan pada diri saya. Sebagai manusia yang memiliki sifat defensif, tentu saya harus membantah, berkelit atau berargumentasi terhadap setiap kritik pedas dari teman-teman peserta. Tapi, peraturannya tidak demikian, saya hanya boleh mengucapkan “terima kasih” untuk semua kritikan itu. Awalnya saya masih belum mengerti maksud sessi tersebut, sehingga pada giliran seorang teman lain dihadirkan di depan kelas, saya berpikir inilah saatnya balas dendam. Tapi, entah kenapa, ada perubahan yang hebat sedetik menjelang saya mencoba menghujaninya dengan kritikan. Kritikan tetap meluncur, tapi ianya mengalir dengan tenang, tanpa emosi dan tidak ada motif balas dendam. Terus demikian hingga peserta terakhir menjalani prosesi yang sama.
Setelah pelatihan tersebut, saya baru mengerti, perlu jiwa yang besar, hati yang bersih untuk bisa menerima setiap keadaan yang tidak terduga yang bakal terjadi terhadap diri ini. Langit tak selamanya cerah, demikian halnya dengan hidup, tak selamanya menyenangkan, dan menceriakan. Kekecewaan, kegagalan, ketersinggungan, pengalaman pahit dan hal-hal tidak mengenakkan, pun senantiasa mampir dalam perjalanan kehidupan. Namun, bisakah kita menerima setiap lintasan tidak menyenangkan itu seikhlas saat kita mendapati keberhasilan, dan kesenangan?
Yang jelas, kita perlu sadari, dalam hati manusia sangat mungkin tertanam benih-benih kesombongan, merasa hebat, merasa lebih, yang kemudian semua rasa itu menyesakkan seluruh rongga dada ini. Sehingga kemudian, saat kita mengalami kegagalan, seperti tak ada ruang untuk menerima kekecewaan, ketika secara tak sengaja orang lain berbuat salah, tak ada lagi ruang di bilik hati ini untuk memaafkan.
Pelajaran bersyukur dengan mengucapkan “terima kasih” untuk hal-hal pahit dan jelek, juga kadang menyakitkan kepada kita, akan mampu mengikis habis kesombongan, dan perasaan lebih hebat, lebih baik, lebih segalanya dari orang lain, sehingga untuk kemudian, dada ini layaknya hamparan padang ikhlas yang maha luas yang siap menampung semua kepahitan dan kekecewaan, hati ini seperti lautan cinta dan kasih sayang yang siap memaafkan semua kesalahan orang lain, disengaja ataupun tidak. Kalaulah untuk hal-hal disengaja, kita mampu menerima ikhlas dan memaafkan, bayangkan betapa ringannya sekedar memaafkan perbuatan salah orang lain yang tidak disengaja. Lagipula, sudah barang tentu, seperti saya terhadap orang yang kena sikut di kereta, sungguh takjub dan kagum saya terhadapnya.
Sedikit bersabar dan menahan emosi, kalau perlu berucap “terima kasih” kepada orang yang berbuat zhalim terkadang perlu dilakukan. Hal ini untuk melatih kesabaran kita dan menjadikan kita orang-orang yang berjiwa besar. Namun, seperti kata orang banyak, sabar ada batasnya, saya percaya, pada satu kondisi tertentu, saat diperlukan, memperingatkan orang lain yang tak tahu diri dan keterlaluan, juga wajib dilakukan. Hanya saja, kita punya cara yang beradab, sopan dan tidak menjatuhkan harga diri.
Ngomong-ngomong, saya melirik pria di sebelah saya yang tadi tersikut, dia masih tersenyum. Dan kali ini saya membalasnya dengan senyuman, sambil terus mengira-ngira, jangan-jangan, ini pria yang kisahnya pernah saya dengar itu ... Wallahu ‘a’lam bishshowaab (Bayu Gautama).
0 komentar:
Posting Komentar