eramuslim - Lelaki itu –entahlah –sepertinya sudah ditakdirkan menjadi tempat bersarang bagi bermacam penyakit. Renta, lapuk, kuyu... padahal usianya belum lagi genap empat puluh. Tapi satu yang saya lihat indah padanya: pancaran kehidupan.
Lelaki ini, saya pikir, adakah yang bisa dinikmatinya dari hidup? Mungkin tak ada. Diabetes membuat ia harus mengonsumsi makanan-makanan berkadar gula rendah dan minum air putih. Sementara hipertensinya membuat ia tak boleh menyentuh makanan-makanan seperti daging, telur, bahkan konsumsi garam pun dibatasi. Padahal... apa nikmat makanan tanpa garam? Tak ada makanan ‘lezat’ yang bisa ia nikmati, pun dengan minuman ‘manis.’ Penyakit telah menceraikannya dari rasa yang menjadi simbol bagi nikmat yang Allah percikkan ke dunia.
Itu masih belum semua. Ia juga menderita lever. Ginjalnya pun tidak normal yang mengharuskannya cuci darah secara berkala. Matanya rabun, telinganya tak berfungsi dengan baik. Oya... ia juga pernah terkena stroke sehingga mengakibatkan sebagian tubuhnya lumpuh.
Sungguh, entahlah, apakah saya akan sanggup bertahan jika harus menanggung semua itu secara bersamaan. O, tidak... tentu tidak. Saya tidak akan mengambil pisau di meja itu lantas memotong urat nadi, atau mencampur segelas air dengan racun tikus atau obat serangga dan meminumnya agar dipercepat kematian itu tiba. Tak pula saya akan menggunakan ikat pinggang untuk menjerat leher. Seawam apa pun saya tentang takdir, saya tahu bahwa bunuh diri adalah sikap paling pengecut dari orang-orang yang pernah hidup.
Namun, meskipun saya bisa memastikan diri tak akan melakukan tindakan bodoh itu, namun saya tak yakin apakah saya akan terbebas dari kesibukan mengeluh.
Ya, benar. Mengeluh. Saya tidak akan mengatakan Tuhan tidak adil. Tentu adil. Keadilan dalam pandangan-Nya tentu berbeda dengan keadilan di mata seorang hamba. Dia selalu istimewa dalam membahasakan cinta. Ia juga begitu indah dalam menjelaskan keluasan makna adil. Tapi, sampai hari ini, saya masih belum bisa membaca -–kendati saya yakin-- apa yang bisa disyukuri oleh lelaki dengan sejuta penyakit ini, sehingga saya bisa mengatakan bahwa ia menerima keadilan Allah.
Kenapa? Jika lelaki itu seorang bajingan, bandit kampung atau residivis, lantas menerima penyakit semacam itu, maka saya cukup bisa mengatakan, “itu adalah balasan Allah untuk perbuatannya. Allah berkenan membalas amalannya di dunia selagi dia masih hidup. Harusnya dia beruntung sebab terhindar dari pelipatgandaan siksa di yaumil baats.”
Tapi tidak dengan lelaki ini. Ia menderita cacat dan ketidaklengkapan jasmani semenjak lahir. Penyakitnya itu menyerang jauh semenjak dia baru mulai menapaki usia remaja di mana kedewasaan menjadi syarat dihitungnya amal atas diri seseorang.
Mungkin, dengan melihatnya, saya bisa bersyukur. Bukan bersyukur atas keadaannya, tetapi bersyukur atas keadaan saya. Melihat keadaannya, saya bisa melihat betapa keluangan begitu banyak berpihak pada saya. Betapa banyak keberuntungan dan nikmat yang ada pada saya namun saya tak melihatnya selama ini. O, tak usah semua, jika saja mata lelaki ini berfungsi normal seperti saya, mungkin ia bersyukur bisa menikmati keindahan yang terpampang di depannya. Lantas saya mensyukuri penglihatan saya. Jika telinganya berfungsi normal, ia bisa mendengar keindahan suara-suara sebagaimana saya. Maka saya mensyukuri pendengaran saya. Jika... jika....
Dia, kata saya, mungkinkah memang diciptakan Allah untuk menjadi pelajaran bagi yang sehat, lantas pada saatnya nanti ia akan menjadi pelajaran bagi yang hidup? Jika benar demikian, lantas apa yang bisa menjadi hak dari lelaki ini? Perlukah baginya bersyukur atas apa yang telah ‘dikaruniakan’ Allah kepada-Nya?
Anehnya, di wajahnya saya melihat pancaran kehidupan yang membuat saya begitu silau. Saya selalu bertanya tentang rahasia dari binar hidup di wajahnya itu. Saya merasa ada lautan syukur yang begitu dalam di sana. Lautan itu menenggelamkan segala yang saya pikirkan. Karenanya, saya selalu kehilangan kata-kata untuk berkata begini dan begini di hadapannya.
-----
Lelaki ini, apa yang kurang padanya? Wajah tampan, kesehatan prima, harta bersisa, kedudukan berwibawa, istri yang sempurna.... Hampir tak ada yang bisa dicela darinya. Senyumnya ramah kepada semua mata. Ia berjalan dengan tegap namun tidak dengan gaya jumawa. Pakaiannya sahaja kendati semua orang tahu ia tak pernah papa.
Sungguh-sungguh, lelaki ini adalah gambaran kesempurnaan yang mungkin pernah Allah berikan kepada Yusuf a.s.
Kenapa saya berani menyebut denikian? Saya bukan hendak mengatakan ketampanan lelaki ini setara dengan Putranda Ya’qub a.s. itu. Saya hanya membuat tamsil bahwa lelaki ini adalah perpaduan dari keindahan, ketampanan, keimanan, keperkasaan, kekayaan, kesederhanaan, kerendahhatian... dan entah apa lagi.
Saya memandangnya dengan rasa iri. Bukan untuk saya... tapi untuk lelaki dengan sejuta penyakit yang kini tergolek di rumah sakit menjalani cuci darah secara berkala. Jika saja sedikit dari yang dimiliki lelaki sempurna ini dianugerahkan Allah kepadanya, maka alangkah saya bisa berkata, ada sedikit yang bisa disyukuri dari hidup yang diserahkan Tuhan pada umurnya.
-----
Benarkah tak ada yang disyukuri dari hidupnya itu? Entahlah, saya belum bisa menjawab. Hari ini, si lelaki sempurna tiba-tiba meninggal dunia. Cara meninggal yang cukup baik, saya rasa. Semua orang menangis, meratap-ratap atas kepergiannya. Akan banyak hal bisa dikenang dari lelaki sempurna itu. Gaya berjalannya, caranya menyapa, pandangannya yang lembut teduh, senyumnya yang hangat.... Ada begitu banyak jejak bisa dibaca setelah ia pergi kembali pada kekasihnya.
Tapi, bagaimana dengan lelaki pemilik sejuta penyakit ini? Siapa yang akan menangisinya jika ia mati nanti? Siapa akan mengenang senyumnya yang nyaris tak ada atau dikenal orang? Siapa akan mengingat gaya berjalannya sedang waktunya habis untuk bergolek di ranjang rumah sakit? Bahkan mungkin namanya tersesat dari ingatan orang-orang, tak terlacak. Nisannya akan menjadi tugu tak bernama, lantas pelan-pelan hilang dimakan usia.
Hari ini, saya melihat matahari di wajahnya. Wajahnya berpijar-pijar hingga hampir saya habis ditelan pendarnya. Paras itu cerah, senyuman penuh syukur dan keikhlasan, begitu yang saya tangkap kendati sampai hari ini saya belum juga bisa menemukan apa yang sekiranya bisa ia syukuri sehingga cukup pantas senyum itu terpahat di wajahnya.
“Yang saya syukuri dari sakit ini,” katanya pelan, “adalah bahwa Allah mengakrabkan saya dengan kematian sekaligus memberi waktu begitu panjang untuk mempersiapkan diri menyambutnya.”
Saya mengernyit oleh bisikannya. Inikah rahasia dari senyum matahari yang ada di wajahnya? Astaghfirullah... betapa bodohnya saya. Sungguh, betapa saya tak mengerti selama ini tentang rahasia syukurnya. Betapa iri saya. Bukan saja iri pada kecakapannya bersyukur, tapi juga iri betapa ia selalu diingatkan pada kematian oleh berbagai penyakit yang ia derita. Sementara sakit bagi saya adalah keluhan... keluhan... keluhan.....