Kala Mbah Rono Hanya Bisa Menggeleng

Kisah dari Merapi


KOMPAS.com - Rambut lebat beruban itu mencolok di tengah kerumunan wajah-wajah tegang yang mengamati pergerakan jarum seismograf di ruang pemantauan aktivitas Gunung Merapi di kantor Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, Rabu (3/11/2010). Makin kencang jarum bergerak naik-turun, makin dalam isapan rokok kreteknya.

Sorot matanya terpaku pada jarum-jarum seismograf (alat pencatat kegempaan) dan layar monitor CCTV pemantau puncak Merapi. Sesekali dia menggeleng-gelengkan kepala, mengisyaratkan tanda tak percaya.

Seperti itulah keseharian Surono, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi, belakangan ini. Lelaki yang cukup sering ditampilkan berbagai media elektronik ini merupakan ”komandan” pemantauan aktivitas Merapi, sejak letusan eksplosif terjadi 26 Oktober lalu.

Letusan Merapi Rabu pekan ini, 3 November 2010, awalnya diperkirakan sebagai letusan terdahsyat sepanjang krisis 2010. Sempat mereda dua jam, aktivitas Merapi berlanjut meningkat hingga kemarin.

Kegawatan itu sontak menghapus senyum dan keceriaan Surono. Ketegangan dan kecemasan yang menggelora di dalam dirinya menambah kusut wajahnya. Waktu tidurnya pun semakin pendek.

Sebagaimana diberitakan, gelombang awan panas Merapi pada 3 November berdurasi hingga dua jam dengan jarak luncur terjauh mencapai 11,5 kilometer. Ini jauh lebih dahsyat dari kejadian 26 Oktober yang durasi maksimalnya 33 menit dengan jarak luncur 7 km.

Dua hari belakangan ini, tanggal 4-5 November 2010, gelombang erupsi dan luncuran awan panas lagi-lagi mengejutkan. Muntahan Merapi meluluhlantakkan segala yang dilintasi dan menciptakan rekor baru jarak luncur, hingga 14 km, yang berakhir di wilayah Kecamatan Cangkringan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Tak heran jika babak krisis Merapi sepanjang 3-5 November membuat ilmuwan, pengamat, dan pejabat vulkanologi berpengalaman seperti Surono hanya bisa geleng-geleng kepala. Letusan yang membuat pria yang akrab dipanggil Mbah Rono—karena dianggap sebagai ”juru kunci” versi ilmiah untuk 129 gunung berapi di Indonesia—ini takjub sekaligus takut.

"Kita hanya bisa menangkap pesan-pesan yang disampaikan Merapi, tetapi tak bisa memprediksi maunya apa. Skenario letusan hanya Merapi sendiri yang tahu," ujar Surono, yang sejak awal sudah menduga letusan tahun ini berenergi tiga kali lebih besar ketimbang tahun 1997, 2001, dan 2006.

Ilmu baru

Kepala BPPTK Subandriyo mengatakan, berbagai babak fase letusan Merapi 2010 dari kaca mata ilmiah menjadi sangat menarik. Pertama, letusan tahun ini di luar tabiat Merapi yang selama beberapa dekade terakhir tidak pernah meledak-ledak (eksplosif).

"Belum pernah kita jumpai letusan Merapi sedahsyat ini dalam seabad terakhir," katanya. Ditambahkan, letusan tahun ini hampir menyamai letusan dahsyat Merapi pada 1872. Kala itu, Merapi meletus dengan skala eksplosivitas 4 dari skala 8, atau yang tertinggi untuk ukuran Merapi.

Saat itu, suara letusannya dikabarkan terdengar hingga Pulau Madura di Jawa Timur dan Karawang di Jawa Barat. Volume material yang dilontarkan hampir mencapai 100 juta meter kubik dengan dampak hujan abu, awan panas, dan banjir lahar mencapai radius 20 km.

"Untuk letusan kali ini, kami belum bisa memastikan skalanya karena harus diteliti setelah semua fase erupsi selesai. Namun, diperkirakan sudah kisaran skala 3," kata Subandriyo.

Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Sukhyar sependapat dengan Subandriyo. "Jika dibandingkan letusan Gunung Galunggung tahun 1982, saya nilai ini (letusan Merapi kali ini) lebih dahsyat," katanya.

Waktu itu, kata Sukhyar, Galunggung memiliki energi erupsi yang kira-kira sama dengan energi Merapi saat ini. "Bedanya, Galunggung mencicil pengeluaran energi erupsi itu selama sepuluh bulan, sedangkan Merapi hanya dalam waktu dua minggu," katanya.

Soal banyaknya peningkatan aktivitas gunung-gunung berapi di Indonesia selain Merapi, Sukhyar mengatakan, hal itu tidak saling terkait. (ENG)

Category: 0 komentar

0 komentar:

Posting Komentar